Total Tayangan Halaman

Minggu, 17 September 2017

Kepada Laki-Laki Yang Bersama Perempuan Kesayangan Saya

“Bung, Pernahkah bung merasakan begitu berantakan? Atau mungkin kesepian yang mendalam karena suatu hal, Atau mungkin bung pernah merasa bahwa bung adalah satu-satunya laki-laki yang berhak mencintai perempuan kesayangan bung, menganggap bahwa tidak ada orang lain yang barangkali cintanya jauh lebih besar dari bung sendiri atau mungkin merasa lelah dalam segala hal, kemudian bung ingin berhenti begitu saja.

Pernahkan bung merasa sangat kecewa dengan harapan, memupuk tinggi-tinggi asa kemudian dijatuhkan begitu saja, dan hal yang bung lakukan setelah itu adalah murung, menghabiskan waktu sendiri, berbagi duka dengan bergelas-gelas minuman beralkohol dan puluhan bungkus rokok berserakan, sebab saya lelah berdoa bung, saya lelah menjadi orang baik, atau mungkin bahasa kasarnya adalah saya lelah dengan diri saya sendiri, saya lelah menjadi orang payah, bung. Pernahkah?

Surat ini saya tulis di meja pojok kiri lantai satu peacock, warung kopi favorit saya. Jika bung tidak tahu, mungkin bisa bertanya kepada Keyla, perempuan kesayangan bung itu, saya biasa menghabiskan waktu di sini sendirian, dari sore sampai larut malam, sampai pagi lagi, sampai orang-orang telah bersiap-siap merapikan kerah baju mereka untuk memulai hari, dan saya baru pulang dari kafe itu, atau mungkin jika bung punya waktu, silahkan berkunjung ke tempat favorit saya itu, tanyakan kepada tukang parkir yang jaga selepas isya, saya sering berbagi rokok dan cerita berdua dengannya, dia pasti tahu saya, terkadang saya yang mendengarkan ceritanya, begitu juga sebaliknya, sambil terus mengepul asap dari mulut kita, jika sampai pagi, bahkan tak terasa saya habis dua bungkus rokok dengan beliau hanya dalam beberapa jam.

Dan saat saya menulis surat ini sendirian, mungkin bung sedang tersenyum menikmati waktu berdua dengan perempuan kesayangan bung itu, ah maaf, saya jadi melantur.

Sudah beberapa bulan berlalu, saya mendapati bung kembali berpacaran dengan perempuan kesayangan bung yang dulu, yang mana beberapa waktu lalu saat mungkin dia merasa butuh teman sesaat sebelum kembali dengan bung, 
saya ada untuknya waktu itu. Bung tahu? dia juga menjadi perempuan kesayangan saya juga, bung.

Kini tidak ada lagi waktu yang sama seperti apa yang saya lakukan dulu dengan dia, sebab bung sudah ada lagi. Kecuali kenangan pahit yang bung tidak akan mendengarnya. Entah apa yang perempuan kesayangan bung pikirkan waktu itu, dia membelah hati saya menjadi potongan-potongan kecil, bahkan lebih kecil dari cabai yang setiap pagi diiris oleh ibu saya sewaktu membuatkan sarapan untuk saya, ah tapi tenang, bung tidak perlu khawatir, saya tetap mendoakan perempuan bung dengan hal-hal baik, saya bukan pendendam.

Maafkan bung, kadang saya masih sering berandai-andai, menghitung hari demi hari, kapan saya bisa membuang waktu lagi dengannya lagi, saya rindu dia bung, sungguh.
Sampai di sini, ketika nanti memang bung bertakdir tetap menyanding perempuan kesayangan bung, yang juga kesayangan saya itu, saya ingin sekali berbicara sedikit munafik. Itu bukan salah bung, atau mungkin salahnya, itu kesalahan saya, mengapa saya datang tidak tepat waktu, di mana ternyata perempuan kesayangan saya itu belum beranjak dari masa lalunya dengan bung, juga karena waktu yang mengijinkan kita sempat berbagi waktu.

Seharusnya saya menyadari sejak awal, bahwa jika tokoh utama dalam cerita ini bukan saya, bung. Apalagi kita, saya dengan perempuan kesayangan bung. Tapi kalian, saya cukup menjadi figuran, menawarkan bahu kepadanya ketika bung tidak ada untuk perempuan kesayangan bung waktu itu.
Saya kalah, tapi lebih tepatnya dipaksa kalah. Cerita ini kemudian terasa begitu sakit untuk didengarkan, tapi saya tetap mencintainya, bung, seperti waktu pertama kali saya bertemu dengannya dulu.

Saya ingin titip pesan, bung. Bolehkah? Tolong peluk perempuan itu, kemudian bung kecup keningnya dan tatap matanya dalam-dalam,
atau jika sempat tolong usapkan lembut bibirnya dengan jemari bung, saya sering melakukannya dulu saat dia diam saja memikirkan sesuatu, entah, barangkali dia menyukainya. Tolong lakukan itu untuk saya bung, nanti bung akan melihat, di situ tersemai doa-doa, rasa cinta dan harapan saya yang harus mati menjadi lebur dimakamkan pada kedua bola matanya.

Salam untuk Keyla. Doa-doa baik saya untuk kalian.”

- AHN (From A To A)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar